Monday, July 6, 2015

Ternyata ini nih Rahasia Singapura Bisa Bebas dari Macet

"Macetnya cupu," kata Bowo, 28 tahun, warga negara Indonesia yang sedang mengunjungi Singapura, sambil tergelak. Dia membandingkan puncak kemacetan di Orchard Road, pusat belanja di Negeri Singa itu, dengan padatnya jalanan yang biasa dia hadapi di DKI Jakarta. "Paling kerasa tidak banyak sepeda motor yang memotong laju kendaraan lain dan menambah ruwet," imbuh Wahyu, turis lainnya.



Dari pantauan merdeka.com, kebetulan sedang bertandang ke negara kota itu atas undangan pelatihan di Nanyang Technological University, pada jam berangkat kantor pukul 07.00 hingga 09.00, kondisi Bukit Timah Expressway yang mengarah ke kota tak terlalu padat. Kendaraan seperti mobil dan truk bisa melaju di kecepatan 70-90 kilometer per jam.

Peter Ong, 56 tahun, warga Singapura yang kini mukim di Australia, merasa penilaian warga Indonesia yang merasa jalanan negaranya bebas macet, tidak sepenuhnya benar. "Karena sebetulnya ini awal Desember, sebagian sekolah libur. Maka dari itu terlihat lengang," ujarnya.

Dia menuturkan, di jam-jam sibuk di bulan lainnya, kemacetan mudah ditemui dan kadang bikin frustrasi. "Tapi ya memang tidak separah Jakarta," kata Ong.

Bagi warga kota-kota besar Indonesia, Singapura bisa jadi rujukan kondisi jalan idaman. Hapsari, 27 tahun, pekerja komuter Jakarta-Tangerang berharap tak perlu menghabiskan hidup di jalan. Dia minimal butuh 1,5 jam saban pagi dan sore di jalanan yang tak pernah bisa diprediksi. "Aku pernah di Singapura, rasanya jadi komuter enggak stres," ungkapnya.

Untuk itu, tak keliru bila bertanya pada warga yang mukim di Singapura. Apa sih rahasia jalanan di kota yang cuma separuh luas DKI Jakarta itu, bisa relatif lebih lengang dibanding kota-kota besar Asia Tenggara?

Rahasia pertama, pemerintah Singapura keras membatasi populasi kendaraan pribadi. Syam, pekerja migran asal Malaysia yang tiga tahun terakhir mencari nafkah di Singapura, menceritakan betapa mengerikannya punya kendaraan sendiri di Negeri Merlion itu.

"Kalau kamu sudah tidak pusing soal pajak, barulah berani punya private car atau motorcycle," ujarnya sambil tersenyum.

Pajak yang dimaksud, adalah biaya sertifikat (setara BPKB) dan pajak tahunan, yang jauh lebih mahal dari harga jual mobil. Syam menggambarkan, mobil yang bila dirupiahkan setara Rp 150 juta, harus membayar gabungan pajak kendaraan dan pajak umum hingga empat kali lipat.

"Mobil impor Jepang bisa kena pajak sampai SGD 80.000 tiap tahun," ungkapnya.

Rahasia lain, biaya bahan bakar. Paling murah adalah Oktan 95 yang disediakan SPBU Caltex atau Shell, di mana per liter mendekati SGD 2 atau setara Rp 18.746. Seandainya bawa sepeda motor pun, butuh rutin mengisi 20 liter per pekan. "Tak sanggup saya," kata Syam.

Di luar itu, perumahan Singapura yang mayoritas berupa rumah susun, bukan rumah tapak, mengurangi minat masyarakat memiliki kendaraan pribadi. Punya mobil artinya harus memikirkan ruang untuk parkir dan tetek bengek lainnya.

Sementara, kalau naik bus dan MRT, saban perjalanan cuma butuh 20 sen per orang per hari. Merujuk data Today Online, setara SGD 120 per bulan.

"Dengan sistem perumahan itu, lebih murah naik transportasi umum," kata Syam.


(sumber)

No comments:

Post a Comment